Jumat, 09 Mei 2014

GELAR PENGUASA ADAT DI TORAJA DAN ASAL-USULNYA

ASAL USUL GELAR PENGUASA ADAT DI TORAJA
Penduduk yang pertama – tama menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, yg kini kita kenal sbg TANA TORAJA berasal dari luar daerah Sulawesi Selatan dan diperkirakan datang sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan menggunakan perahu melalui sungai-sungai besar menuju Pegunungan Sulawesi Selatan yang akhirnya menempati daerah dataran tinggi, termasuk Toraja. Hal ini sesuai dengan fakta sejarah yang ada, yang mengatakan kebanyakan dari mereka datangnya dari Selatan Tana Toraja.
Mereka datang dalam bentuk kelompok – kelompok yang dalam sejarah Toraja disebut ARROAN (kelompok manusia), menyusuri sungai sungai dengan menggunakan perahu, dan setelah itu mereka tidak bisa lagi menggunakan perahu karena derasnya air dan berbatu. Maka mereka menambatkan perahunya di pinggir sungai dan tebing-tebing kemudian menjadi tempat tinggal sementara (dari sinilah muncul istilah “Toma’ Banua di Toke’ “). Arroan itu kemudian berjalan menuju pegunungan dan bermukim tetap di sana.
Menurut sejarah Toraja, tiap Arroan ini dipimpin oleh AMBE’ Arroan (Ambe’ = bapak; Arroan = Kelompok Manusia). Arroan – arroan ini rupanya tidak datang sekaligus tetapi beberapa kali dan masing – masing Arroan menempati tempat tertentu untuk menyusun persekutuan keluarga masing – masing di bawah pimpinan Ambe’ Arroan. Lama kelamaan anggota dari Arroan – arroan itu bertambah banyak dan perlu memiliki tempat tinggal yang lebih luas, sehingga anggota Arroan berpencar mencari tempat yang baru dalam bentuk kelompok yang lebih kecil yang disebut PARARRAK (Pararrak = Penjelajah) dengan dipimpin oleh PONG Pararrak (Pong = Utama = Pokok), jadi Pong Pararrak artinya Pimpinan Penjelajah.
Inilah yang menyebabkan adanya Gelar AMBE’ yang kemudian menjadi Sia Ambe’ (Siambe’) dan Gelar PONG yang tersebar luas di Toraja selanjutnya kemudian kedua gelar ini dipadukan karena sumbernya hanya satu yaitu menjadi nama/gelar Penguasa Adat, seperti kemudian kita mengenal :
- Siambe’ Pong Simpin
- Siambe’ Pong Maramba’
- Siambe’ Pong Tiku
- Siambe’ Pong Palita
- Siambe’ Pong Panimba
- Siambe’ Pong Masangka, dll....
Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh penyebaran Arroan dan Pararrak, maka seluruh pelosok pegunungan dan daratan tinggi sudah terdapat penguasa – penguasa kecil dari turunan Ambe’ dan Pong yang perkembangannya sangat nampak dalam masyarakat Toraja sampai sekarang di samping Gelar Penguasa lainnya. Beberapa lama keadaan berjalan demikian maka dimana-mana sudah terdapat Penguasa Ambe’ dan Pong Pararrak, dan tersusunlah persekutuan-persekutuan adat kecil.
Kemudian dari selatan datang pula gelombang penguasa baru juga dengan menggunakan perahu melalui sungai. Penguasa – penguasa baru ini datang dengan pengikut – pengikutnya yang dikenal dengan nama PUANG-PUANG Lembang (Puang = yang empunya; lembang = perahu), Puang Lembang artinya yang empunya perahu. Mereka kemudian menempati daerah Bambapuang (daerah selatan Toraja yang masuk ke dalam administrasi pemerintahan Kab. Enrekang saat ini). Penguasa – penguasa ini mempunyai tata masyarakat tersendiri dan memiliki cara pemerintahan tersendiri, namun mereka masih dalam kelompok kecil di daerah Bambapuang. Dari sini pula mereka kemudian menyebar ke daerah lain dan menjadi penguasa daerah yang ditempatinya, serta tidak lagi dikenal sebagai Puang Lembang (Empunya Perahu) melainkan berubah menjadi Puang dari daerah yang dikuasainya, misalnya
- Puang ri Buntu ( penguasa daerah Buntu)
- Puang ri Tabang (penguasa daerah Tabang)
- Puang ri Batu (penguasa daerah Batu)
- Puang ri Su’pi’ (penguasa daerah Su’pi’) dll.
Setelah para Puang yang menguasai tiap tempat makin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah persaingan kekuasaan di antara mereka, dimana sebagian Puang mulai merebut daerah kekuasaan Pong Pararrak atau Ambe’ Arroan yang lebih dulu memiliki kekuasaan, dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Hal ini membuat sebagian Puang membujuk Pong Pararrak dan Ambe’ Arroan untuk bersekutu untuk melawan Puang yang lain. Persekutuan ini kemudian disebut BONGGA (Bongga = besar = hebat = dahsyat). Sebagai pimpinan Bongga maka diangkat Puang yang kuat di antara mereka yang dalam kedudukannya dinamakan Puang Bongga (yang empunya kekuasaan yang kuat dan hebat), seperti yang terkenal dalam sejarah Toraja seorang penguasa Bongga yang terkenal adalah Puang Bongga Erong.
Timbulnya persekutuan ini menimbulkan pergeseran serta perubahan di sekitar Bambapuang, yang dalam perkembangannya kemudian muncul seorang penguasa Bongga yang terkenal yang mengadakan perombakan besar di Bambapuang yaitu Puang Londong di Rura, yang mempunyai cerita dalam masyarakat Toraja sebagai seorang yang lalim, keras hati, dan mendapat kutukan dari Puang Matua.
Karena persaingan yang begitu hebat dan terus – menerus di kalangan Puang – Puang ini, maka pengaruh dari penguasa Puang di daerah Bambapuang makin merosot, apalagi setelah terjadi perpindahan beberapa Puang ke bagian utara Bambapuang untuk mencari tempat yang lebih aman untuk menerapkan pemerintahannya. Tetapi berbeda dengan Pong Pararrak yang ada di bagian utara, tidak terjadi persaingan karena masing – masing menguasai daerah yang sudah ditempatinya.
(Ref : J.S. Sande, Sastra Toraja Klasik : Folktales in Toraja, with translation in Indonesian,"PPS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar